Ketua Fraksi Partai Demokrat DPRD Lombok Timur, (foto/istimewa)

Dimensintb.com - Ketua Fraksi Partai Demokrat di DPRD Lombok Timur, Amrul Jihadi mempertanyakan terkait tarif yang ditetapkan oleh jajaran Direksi RSUD Soedjono Selong kepada masyarakat yang hendak memohon penerbitan surat keterangan sehat (SKS).

Bahkan, sosok yang juga pernah menjadi Ketua Pansus PAD DPRD Lombok Timur itu melontarkan kritik menohok kepada Direktur RSUD Soedjono yang dinilai tidak peka terhadap kondisi sosial ekonomi masyarakat.

"Kami dari Fraksi Partai Demokrat mendapat aduan dari masyarakat atas mahalnya tarif penerbitan SKS di RSUD Soedjono. Setelah kami telaah, tarif itu memang harus dipertanyakan apa dasar pertimbangannya," katanya. Senin (30/04).

Menurutnya, berdasarkan perbandingan data yang pihaknya lakukan. Besaran tarif penerbitan SKS di RSUD Soedjono Selong memang terlampaui tinggi jika dibandingkan dengan tarif yang ditetapkan oleh rumah sakit milik pemerintah lainnya, seperti di RSJ Mutiara Sukma Mataram.

"Di RSJ itu tarif penerbitan SKS nya dipatok di kisaran Rp400 ribu, lalu di RSUD Soedjono malah lebih dari Rp700 ribu. Jadi pertanyaan kami kenapa bisa berbeda jomplang. Padahal jenis pelayanannya sama, alat yang digunakan juga mungkin sama, metode testnya sama, keahlian dokternya pun juga sama, rumah sakit juga sama-sama dimiliki pemerintah. Tapi kok beda," ketusnya.

Lanjut sosok yang juga Ketua DPC Partai Demokrat Lombok Timur itu. Jangan sampai kemudian, dengan dalih menggenjot PAD, lalu kemudian dijadikan pembenar untu 'mencekik' masyarakat. "Apa ini perintah pimpinan untuk mengejar target PAD yang sangat tinggi itu? Kalau betul seperti itu, maka kami Fraksi Demokrat sangat menyayangkan itu," sesalnya.

Dari itu tegas Amrul, dirinya akan memberi instruksi kepada anggota Fraksi Demokrat di Komisi II agar menjadikan persoalan itu menjadi perhatian serius. Bahkan kata dia, Direktur RSUD Soedjono harus memberikan keterangan terkait dasar penentuan tarif SKS itu di forum rapat Komisi II selaku mitra kerjanya.

"Kami akan minta Komisi II untuk mengklarifikasi serta memanggil Direktur RSUD Soedjono. Agar kita bisa kita tau dasar dan acuan standar apa yang digunakan sehingga tarif itu ditetapkan," tandasnya.

Sementara dikutip dari media suaranusra.com, Direktur RSUD Soedjono Selong, dr. HM. Hasbi Santoso menyatakan tarif penerbitan SKS didasarkan dan berpedoman pada peraturan daerah (Perda) Nomor 43 Tahun 2021.

Dijelaskan dia, terdapat empat klasifikasi pemohon SKS. Yakni kelompok calon jamaah haji, pegawai kategori PPPK, PPPK khusus tenaga kesehatan (Nakes), dan calon legislatif (Caleg).

Menanggapi pertanyaan kenapa pembuatan SKS harus di rumah sakit? Hasbi menjelaskan, bahwa ada beberapa jenis pemeriksaan yang fasilitasnya hanya ada di RSUD Soedjono dan tidak ada di Puskesmas.

"Seperti calon jamaah haji yang berjumlah 1060 orang. 434 orang diantaranya oleh Puskesmas dirujuk ke rumah sakit lantaran harus dilakukan pemeriksaan elektrokardiogram atau EKG (prosedur medis yang dilakukan untuk memeriksa fungsi jantung," ucapnya.

Selain pemeriksaan EKG, tambah dia, seorang calon jamaah haji oleh dokter di Puskesmas, juga direkomendasikan untuk dilakukan rontgen di rumah sakit. Dua hal inilah yang dibutuhkan sehingga menyebabkan mereka dirujuk, agar Puskesmas bisa menetapkan apakah mereka bisa melaksanakan ibadah haji.

"Kalo EKG ini semua Puskesmas punya, rontgen hanya Puskesmas Aikmel yang punya. Nah alat ada, tetapi yang membaca EKG dan rontgen ini secara elektronik, harus dokter spesialis. Inilah yang menyebabkan bahwa pembuatan SKS tertentu, harus di rumah sakit," jelasnya.

Untuk jenis pemeriksaan seperti yang disebutkan diatas, lanjut Hasbi, diharuskan di institusi/instansi pemerintah demi mendapatkan SKS dengan legalitas yang jelas, yang diantaranya adalah RSUD Soedjono Selong, RSUD Lombok Timur, dan RSUD Patuh Karya.

"Terkait rincian biaya pembuatan SKS bagi calon jamaah haji diantaranya, registrasi Rp25 ribu, EKG Rp76 ribu, pemeriksaan fisik Rp17 ribu, pemeriksaan rontgen thorax Rp83,5 ribu, expertise rontgen Rp50 ribu, sehingga total keseluruhan Rp.251,5 ribu," paparnya.

Selanjutnya untuk pemohon dari kategori Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK). Dijelaskan dia terdapat pemeriksaan laboratorium, yaitu pemeriksaan narkoba dengan tiga parameter dengan biaya Rp165 ribu, sudah termasuk jasa spesialis yang membawahi laboratorium.

Kemudian, jenis tes yang agak mahal bagi PPPK, paparnya adalah tes Minnesota Multiphasic Personality Inventory (MMPI) guna mendeteksi adanya kelainan kejiwaan/psikologis, seperti misalnya adanya penyimpangan diamipola atau memiliki kecenderungan depresi.

"Itu dikonsultasikan oleh dokter spesialis jiwa. Di di Lombok Timur, dokter spesialis jiwa hanya ada di RSUD Soedjono Selong. Tes inilah yang biayanya Rp410 ribu, yang kemudian total biaya keseluruhan untuk PPPK sebesar Rp718 ribu," jelasnya.

"Berikut rincian biaya SKS untuk PPK, registrasi Rp25 ribu, EKG Rp76 ribu, pemeriksaan fisik Rp17 ribu, konsultasi dokter umum di rawat jalan Rp25 ribu, pemeriksaan narkoba 3 parameter Rp165 ribu, test MMPI dan wawancara psikiatrik Rp360 ribu, konsultasi dokter spesialis jiwa Rp50 ribu. Sehingga total keseluruhannya Rp718 ribu," imbuh dia lugas.

Lanjut dia, pemohon SKS dari PPPK adalah mereka yang sudah dinyatakan lulus PPPK, bukan pencari kerja sebagaimana yang diasumsikan oleh banyak orang.

Dari itu, dengan tegas dirinya menepis keraguan bahwa mereka yang sudah rela membayar mahal SKS belum tentu akan lulus. "Khusus SKS untuk PPPK, bahwa yang membuat SKS itu adalah mereka yang sudah lulus. Jadi kalau dikatakan mereka belum tentu lulus setelah repot-repot membuat SKS dengan biaya mahal, itu tidak benar," tegas Hasbi.

Berikutnya bagi pemohon SKS dari PPPK tenaga kesehatan (Nakes). Terdapat tambahan item pemeriksaan bagi PPPK Nakes, yakni pemeriksaan buta warna, dikarenakan untuk tenaga kesehatan tidak diperbolehkan buta warna.

"Nah yang memeriksakan adalah dokter spesialis mata. Dan mohon maaf untuk spesialis mata ini kita di Lombok Timur hanya ada di RSUD Soedjono Selong," ungkapnya.

"Rician biaya untuk PPPK Nakes sebagai berikut, registrasi Rp25 ribu, EKG Rp76 ribu, pemeriksaan fisik Rp17 ribu, konsultasi dokter umum Rp25 ribu, pemeriksaan narkoba 3 parameter Rp165 ribu, tes MPPI dan wawancara psikiatrik Rp360 ribu, konsultasi dokter spesialis jiwa Rp50 ribu,  pemeriksaan buta warna dan expertise spesialis mata Rp79 ribu, sehingga total keseluruhannya Rp797 ribu," ujarnya.

Terakhir, untuk pemohon dari calon legislatif (Caleg) selain tes MMPI/mejiwaan, untuk pertama kalinya seorang Caleg diberikan tes IQ, yakni tes kepribadian dan kapasitas kecerdasan.

"Untuk tes MMPI maupun tes kepribadian dan kapasitas kecerdasan ini hanya bisa dilakukan oleh spesialis jiwa. Nah inilah komponennya, sehingga harus dilakukan di rumah sakit," tukasnya.

"Rincian biaya untuk Caleg diantaranya biaya registrasi Rp25 ribu, EKG Rp76 ribu,  pemeriksaan fisik Rp17 ribu, konsultasi dokter umum Rp25 ribu, pemeriksaan narkoba 3 parameter Rp165 ribu, tes MPPI dan wawancara psikiatrik Rp360 ribu, konsultasi dokter spesialis jiwa Rp50 ribu, tes kepribadian dengan big 5 dan tes kecerdasan dengan TIU Rp108 ribu sehingga total biaya Rp826 ribu," tuturnya.

Berkaitan dengan penerimaan fungsional dari jasa keuangan yang diperoleh rumah sakit dari biaya pembuatan SKS. Beber dia, terlebih dahulu dirincikan berdasarkan anatominya, dengan rincian 65 persen untuk biaya operasional dan 35 persen untuk biaya jasa.

"Karena kita BLUD, ada kewajiban untuk menyetorkan hasil retribusi kepada Pemda, tetapi terlebih dahulu kita masukkan 100 persen ke kas rumah sakit. Setelah itu barulah nanti 65 persen untuk operasional, dan 35 persen untuk jasa yang kita bagikan kepada seluruh staf rumah sakit," tandas Hasbi. (*)