Penulis oleh : Bang Didu

Dimensintb.com - Sebelum dekade 1980-an, belum dikenal organisasi masyarakat sipil (NGO) yang bergerak pada isu-isu spesifik dan tematik seperti saat ini. Situasi politik masih sepenuhnya berada dalam kontrol ketat rezim Orde Baru, termasuk dalam kebebasan berserikat dan berpendapat. Peristiwa Malari 1974 dan Gerakan Mahasiswa Bandung 1978 menjadi momentum penting perlawanan mahasiswa terhadap rezim. Kedua gerakan itu mengangkat isu-isu kritis yang dianggap mengancam stabilitas kekuasaan.

Sebagai respons, Orde Baru memperkenalkan NKK/BKK (Normalisasi Kehidupan Kampus / Badan Koordinasi Kemahasiswaan) sebagai strategi depolitisasi kampus. Tujuannya jelas: mengendalikan aktivitas politik mahasiswa serta meniadakan ruang kritik terhadap pemerintah. Dewan Mahasiswa (Dema) dibubarkan dan diganti dengan Senat Mahasiswa yang berada di bawah kontrol langsung Rektorat, khususnya Wakil Rektor III bidang kemahasiswaan. Sejak itu setiap aktivitas mahasiswa harus memperoleh izin dan persetujuan kampus.

Depolitisasi dan Pembatasan Ruang Akademik

Untuk mereduksi aktivitas politik mahasiswa, Orde Baru masih memberi ruang terbatas bagi kegiatan intra kampus dalam bentuk Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM). UKM diarahkan pada bidang minat dan bakat seperti Korps Sukarelawan Mahasiswa (KSR), Koran Kampus, Lembaga Dakwah Kampus (LDK), dan UKM lainnya yang dianggap apolitis. Kampus menyambut pendirian UKM semacam ini karena tidak mengandung muatan kritik terhadap pemerintah.

Pada saat yang sama, pemerintah melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan memperkenalkan Sistem Kredit Semester (SKS) yang mewajibkan mahasiswa menyelesaikan minimal 144 SKS. Kebijakan ini dimaksudkan untuk memaksa mahasiswa fokus pada studi dan menjauh dari aktivitas politik.

Sebelum NKK/BKK, mahasiswa menikmati kemandirian untuk mengatur organisasi, masa studi, serta menyuarakan kepentingan publik melalui Dema yang tidak berada di bawah subordinasi Rektor. Setelah kebijakan tersebut diberlakukan, kampus berubah menjadi “menara gading”—terpisah dari problem masyarakat luas, dan ruang advokasi sosial hanya tersisa dalam bentuk kegiatan periferal yang bersifat apolitis.

Perubahan Taktik Gerakan Mahasiswa

Dengan meningkatnya represi, termasuk ancaman UU Anti-Subversi dan pasal-pasal Haatzai Artikelen dalam KUHP, aktivitas mimbar akademis dibatasi ketat. Untuk menghindari kontrol rektorat, aktivis kampus mengubah strategi melalui pendirian kelompok studi beranggotakan terbatas. Kelompok ini menjadi ruang konsolidasi, kaderisasi, dan produksi analisis kritis terhadap dinamika sosial-politik.

Kelompok-kelompok studi ini juga memperluas jaringan dengan aktivis kampus lain melalui sistem networking regional dan nasional, serta menjalin koneksi ke luar negeri seperti ASEAN Student Movement. Mereka menerbitkan media bawah tanah dan jurnal terbatas seperti tabloid Aldera dan buku saku “Di Bawah Lentera Merah” karya Soe Hok Gie untuk penyebaran gagasan kritis secara diam-diam.

Cikal Bakal NGOs

Ketika sebagian aktivis lulus atau keluar dari kampus, mereka melanjutkan perjuangan melalui pendirian organisasi non-pemerintah yang kemudian dikenal sebagai NGO (Non-Government Organization). Dari sinilah embrio gerakan masyarakat sipil modern Indonesia mulai terbentuk sebagai respons terhadap penindasan politik dan dibatasinya ruang gerak organisasi mahasiswa.(**)

(Bersambung)